Dalam ajaran Agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian
yang dikenal dengan "Tiga Kerangka Dasar", di mana bagian yang satu
dengan lainnya saling isi mengisi atau berkaitan dan merupakan satu kesatuan
yang bulat untuk dihayati dan diamalkan guna mencapai tujuan agama yang disebut
Jagadhita dan Moksa.
Tiga Kerangka Dasar tersebut adalah:
Tattwa (Filsafat)
Susila (Etika)
Upacara (Yadnya)
1. Tattwa
Agama Hindu mempunyai kerangka dasar
kebenaran yang sangat kokoh karena masuk akal dan konseptual. Konsep pencarian
kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan dalam ajaran filsafat yang
disebut Tattwa. Tattwa dalam agama Hindu dapat diserap sepenuhnya oleh pikiran
manusia melalui beberapa cara dan pendekatan yang disebut Pramana. Ada 3 (tiga)
cara penyerapan pokok yang disebut Tri Pramana. Tri Pramana ini, menyebabkan
akal budi dan pengertian manusia dapat menerima kebenaran hakiki dalam tattwa,
sehingga berkembang menjadi keyakinan dan kepercayaan. Kepercayaan dan
keyakinan dalam Hindu disebut dengan sradha. Dalam Hindu, sradha dibagi menjadi
5 (lima) esensi, disebut Panca Sradha.
Berbekal Panca Sradha yang diserap
menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup seorang Hindu menuju ke satu
tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan lahir dan batin yaitu Jagadhita dan
Moksa. Ada 4 (empat) jalan yang bisa ditempuh, jalan itu disebut Catur Marga.
Demikianlah tattwa Hindu Dharma.
Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian
2. Susila
Susila merupakan kerangka dasar
Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan
penting bagi tata kehidupan manusia sehari-hari. Realitas hidup bagi seseorang
dalam berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan sampai di mana kadar
budi pekerti yang bersangkutan. la akan memperoleh simpati dari orang lain
manakala dalam pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai
oleh ulah sikap simpatik yang memegang teguh sendi- sendi kesusilaan.
Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan
bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup
seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikan sila dan
budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi
tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.
Kata Susila terdiri dari dua suku
kata: "Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah,
harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah
tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam
mengadakan hubungan dengan lingkungannya.
Pengertian Susila menurut pandangan
Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis
antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas
korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.
Pola hubungan tersebut berprinsip
pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup
segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan
sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa
sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Hyang Widi dan sama
sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa
aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara
lebih terperinci.
a. Tri Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang
merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap
individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian hidupnya. Tri artinya “TIGA”,
kaya artinya Karya atau perbuatan sedangkan parisudha artinya penyucian.
Jadi
tri kaya parisudha berarti tiga perbuatan atau prilaku yang harus di sucikan.
Yang dimana TRI KAYA PARISUDHA ini sangat berpengaruh di dalam kita menjalani
hidup sebagai umat manusia.
Adapun
bagian - bagian dari trikaya parisudha aadalah sebagai berikut:
-
Manacika
Yang berarti berpikir suci atau berpikir yang benar. Karena
pikiran yang mengundang sifat dan seluruh organ tubuh untuk melakukan sesuatu.
Maka ada baiknya jika pikiran kita selalu bersih dan tselalu berpikir positif
-
Wacika
Yang berarti berkata yang benar. maka baiknyalah kita di
dalam kehidupan sehari – hari sebaiknya berkata yang benar ,tidak menyingguang
ataupun menghina dan mencaci orang lain.
-
Kayika
Yang berarti perbuatan atau prilaku suci atau berprilaku
yang benar, dimana perbuatan kita dalam kehidupan sehari-hari sangat
berpengaruh di dalam diri manusia. Maka sebaiknyalah kita berprilaku yang baik
demi terciptanya hubungan yang harmonis antara sesama manusia.
Dari
ketiga unsur Tri Kaya Parisudha ini saling memiliki keterikatan yaitu dmana
jika kita sebagai umat manusia sudah berfikir yang benar/suci maka terciptalah
perkataan yang suci pula dan bila perkataan sudah benar maka perbuatan kitapun
pasti akan benar pula.
b. Panca Yama dan Niyama Brata
Pengertian panca nyama brata
Pengertian Panca
Nyama Brata mempunyai arti lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental,
untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin. Panca Nyama Brata adalah untuk
mengendalikan semua akibat – akibat buruk yang ditimbulkan oleh mental dan
pikiran.
1
|
Ahimsa
|
Kasih
kepada makhluk lain, tidak membunuh atau menganiaya
|
2
|
Brahmacari
|
Berguru
dengan sungguh- sungguh, tidak melakukan hubungan kelamin (sanggama) selama
menuntut ilmu.
|
3
|
Satya
|
Setia,
pantang ingkar kepada janji
|
4
|
Awyawaharika
|
Cinta
kedamaian, tidak suka bertengkar dan mengumbar bicara yang tidak bermanfaat
|
5
|
Astenya
|
Jujur,
pantang melakukan pencurian
|
PengertianPancaNyamaBratha
Panca Nyama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk mencapai kesempurnaandan kesucian bathin.
Panca Nyama Bratha adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk mencapai kesempurnaandan kesucian bathin.
|
||||||||||||||||
c. Tri Mala adalah tiga sifat buruk yang dapat
meracuni budi manusia yang harus diwaspadai dan diredam sampai sekecil-
kecilnya.
Bagian-bagian tri mala:
1. Kasmala, perbuatan yang hina dan kotor.
2. Mada, perkataan, pembicaraan yang dusta dan kotor.
- Moha, pikiran, perasaan yang curang dan angkuh.
d. Sad Ripu adalah enam musuh yang di dalam
diri manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi.
Bagian-bagian Sad Ripu yaitu:
1. Kama
Kama
yang dimaksud dalam sad ripu ini adalah nafsu atau keinginan yang negative.
Manusia memang harus memiliki keinginan, tanpa keinginan hidup ini akan terasa
datar sekali. Tetapi keinginan yang sifatnya positif, seperti ingin jadi
dokter, guru dan lainnya. Keinginan yang terkendali akan menjadi teman yang
akrab bagi kita.
2.
Lobha
Lobha
berarti tamak atau rakus yang sifatnya negative sehingga merugikan orang lain.
Lobha yang sifatnya negative akan menyebabkan seseorang terdorong untuk
melakukan kejahatan karena merasa tidak pernah puas dengan apa yang
dimilikinya. Contohnya tindakan mencuri, merampok dan sebagainya. Lobha yang
sifatnya positif hendaknya dipertahankan, seperti tidak puas terhadap ilmu
pengetahuan yang positif, lobha terhadap amal / dana punia.
3.Krodha
Krodha berarti kemarahan. Orang yang
tidak bisa mengendalikan amarahnya akan menyebabkan kerugian pada diri sendiri
maupun orang lain. Bahkan bisa sampai membunuh orang lain. Banyak tindakan –
tindakan anarkis dan criminal yang timbul karena kemarahan. Seperti merusak
barang milik orang lain, memukul teman, bahkan ada yangtega membunuh
keluarganya sendiri.
4.
Moha
Moha berarti kebingungan yang dapat
menyebabkan pikiran menjadi gelap sehingga seseorang tidak dapat berfikir
secara jernih. Hal ini akan menyebabkan orang tersebut tidak mampu membedakan
mana yang baik dan buruk. Akibatnya hal – hal yang menyimpang akan
dilakukannya. Banyak penyebab seseorang menjadi bingung, seperti marah,
mendapatkan masalah yang berat, kehilangan sesuatu yang dicintai dan
sebagainya.
5.
Mada
Mada berarti mabuk. Orang mabuk pikiran
tidak berfungsi secara baik. Akibatnya timbulah sifat – sifat angkuh, sombong,
takabur dan mengucapkan kata – kata yang menyakitkan hati orang lain. Seperti
mabuk kekayaan yang dimilikinya, mabuk karena ketampanan. Mabuk juga dapat
ditimbulkan karena minum minuman keras. Dengan minum minuman keras yang
berlebihan akan menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran, sehingga
menimbulkan perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
6.
Matsarya
Matsarya berarti dengki atau iri hati. Hal
ini akan menyiksa diri sendiri dan dapat merugikan orang lain. Orang yang
matsarya merasa hidupnya susah, miskin, bernasib sial, sehingga akan menyiksa
batinnya sendiri. Selain itu bila iri terhadap kepunyaan orang lain maka akan
menimbulkan rasa ingin memusuhi, berniat jahat, melawan dan bertengkar,
sehingga merugikan orang lain.
e. Catur Asrama adalah empat tingkat kehidupan
manusia dalam agama Hindu, disesuaikan dengan tahapan-tahapan jenjang kehidupan
yang mempengaruhi prioritas kewajiban menunaikan dharmanya.
Bagian-bagian Catur Asrama yaitu:
1.
Brahmacari
Brahmacari berasal dari
2 kata , brahma dan cari . Brahma artinya ilmu pengetahuan suci dan Cari ( car
) yang artinya bergerak. Jadr brahmacari artinya bergerak di dalam kehidupan
menuntut ilmu pengetahuan ( masa menuntut ilmu pengetahuan ).
Dalam kitab Nitisastra II, 1
masa menuntut ilmu pengetahuan adalah maksimal 20 tahun, dan seterusnya
hendanya kawin untuk mempertahankan keturunan dan generasi berikutnya.
Brahmacari juga
dikenal dengan istilah ” Asewaka guru / aguron-guron ” yang artinya guru
membimbing siswanya dengan petunjuk kerohanian untuk memupuk ketajaman otak
yang disebut dengan ” Oya sakti ” . Dalam masa brahmacari ini siswa dilarang
mengumbar hawa nafsu sex ,karena akan mempengaruhi ketajaman otak.Untuk masa
menuntut ilmu, tidak ada batasnya umur, mengingat ilmu terus berkembang
mengikuti waktu dan zaman . Maka pendidikan dilakukan seumur hidup.
Dalam kitab
Silakrama , pendidikan seumur hidup dapat dibedakan menurut perilaku seksual
dengan masa brahmacari. Dengan brahmacari dapat dibedakan menjadi 3 bagian,
antara lain :
a. Sukla brahmacari artinya
tidak kawin selama hidupnya . Contoh orang yang melaksanakan sukla brahmacari .
Laksmana dalam cerita ramayana, bhisma dalam mahabarata, jarat karu dalam
cerita adi parwa.
b. Sewala brahmacari artinya
kawin hanya rekali dalam hidupnya walau apapun yang terjadi.
c. Tresna ( kresna brahmacari )
artinya kawin yang lebih dari satu kali , maksimal empat kali. Perkawinan ini
diperbolehkan apabila – istri tidak melahirkan– istri tidak bisa melaksanakan
tugas sebagai mana mestinya.
adapun syarat tresna brahmacari
adalah :
- mendapat persetujuan dari
irtri pertama
– suami harus bersikap adil
terhadap irtri-istrinya sebagai ayah harus adil terhadap anak dari
istri-istrinya.
2. Grahasta
asrama
Merupakan
jenjang yang kedua yaitu kehidupan pada waktu membina rumah tangga ( dari mulai
kawin ). Kata grahasta berasal dari dua kata. Grha artinya rumah, stha artinya
berdiri. Jadi grahasta artinya berdiri membentuk rumah tangga. Dalam berumah
tangga ini harus mampu seiring dan sejalan untuk membina hubungan atas darar
saling cinta mencintai dan ketulusan. syarat-syarat perkawinan adalah
- sehat jarmani dan rohani
– hidup sudah mapan
– saling cinta mencintai
– mendapat persetujuan dari
kedua pihak baik keluarga dan orang tua.
Sejak itu jenjang kehidupan baru
masuk ke dalam anggota keluarga / anggota masyarakat. Menurut kitab Nitisastra.
Masa grahasta yaitu 20 tahun.
adapun tujuan grahasta adalah :
- melanjutkan keturunan
– membina rumah tangga ( saling
tolong menolong, sifat remaja dihilangkan, jangan bertengkar apalagi di depan
anak-anak karena akan mempengaruhi perkembangan psikologis anak )
– melaksanakan panca yadnya ( sebagai seorang hindu )
– melaksanakan panca yadnya ( sebagai seorang hindu )
3. Wanaprasta
Wanaprasta terdiri dari dua kata
yaitu ” wana ” yang artinya pohon, kayu, hutan, semak belukar dan ” prasta ”
yang artinya berjalan, berdoa. Jadi wanaprasta artinya hidup menghasingkan diri
ke dalam hutan. Mulai mengurangi hawa nafsu bahkan melepaskan diri dari ikatan
duniawi.
Manfaat menjalani jenjang
wanaprasta dalam kehidupan ini antara lain :
a. Untuk
mencapai ketenangan rohani.
adapun filsafat tentang itu :
- orang menang, tidak pernah
mengalahkan
– orang yang kaya karena tidak
pernah merasa miskin
b. Manfaatkan
sisi hidup di dunia untuk mengabdi kepada masyarakat.
c. Melepaskan
segala keterikatan duniawi
Menurut kitab Nitisastra masa
wanaprasta kurang lebih 50 – 60 tahun.
4. Biksuka ( sanyasin )
Kata biksuka berasal dari kata
biksu yang merupakan sebutan pendeta Buda. Biksu artinya meminta-minta. Masa
biksuka ialah tingkat kehidupan yang dilepaskan terutama ikatan duniawi, hanya
mengabdikan diri kepada Tuhan ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa ).
Ciri-ciri seorang biksuka :
a. Selalu melakukan tingkah laku
yang baik dan bijaksana
b. Selalu memancarkan
sifat-sifat yang menyebabkan orang lain bahagia.
c. Dapat menundukkan musuh-musuh
nya seperti sadripu
f. Catur Purusa Artha adalah empat dasar
tujuan hidup manusia.
Bagian-bagian Catur Purusa Artha yaitu:
Dharma
|
Merupakan kebenaran absolut yang mengarahkan manusia untuk
berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agama yang menjadi dasar hidup.
Dharma itulah yang mengatur dan menjamin kebenaran hidup manusia. Keutamaan
dharma sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan, memberikan
keteguhan budi, dan menjadi dasar dan jiwa dari segala usaha tingkah laku
manusia.
|
Artha
|
Adalah kekayaan dalam bentuk materi/ benda- benda duniawi
yang merupakan penunjang hidup manusia. Pengadaan dan pemilikan harta benda
sangat mutlak adanya, tetapi yang perlu diingat agar kita jangan sampai
diperbudak oleh nafsu keserakahan yang berakibat mengaburkan wiweka
(pertimbangan rasional) tidak mampu membedakan salah ataupun benar. Nafsu
keserakahan materi melumpuhkan sendi- sendi kehidupan beragama, menghilangkan
kewibawaan. Bahwa artha merupakan unsur sosial ekonomi bersifat tidak kekal
berfungsi selaku penunjang hidup dan bukan tujuan hidup. Artha perlu
diamalkan (dana punia) bagi kepentingan kemanusiaan (fakir miskin, cacat,
yatim piatu, dan lain- lain)
|
Kama
|
Adalah keinginan untuk memperoleh kenikmatan (wisaya).
Kama berfungsi sebagai penunjang hidup yang bersifat tidak kekal. Manusia
dalam hidup memiliki kecenderungan untuk memuaskan nafsu, tetapi sebagai
makhluk berbudi ia mampu menilai perilaku mana yang baik dan benar untuk
diterapkan. Dengan ungkapan lain bahwa perilaku yang baik dimaksudkan adalah
selarasnya kebutuhan manusia dengan norma kebenaran yang berlaku.
|
Moksa
|
Adalah kelepasan, kebebasan atau kemerdekaan (kadyatmikan
atau Nirwana) manunggalnya hidup dengan Pencipta (Sang Hyang Widhi Wasa)
sebagai tujuan utama, tertinggi, dan terakhir, bebasnya Atman dan pengaruh
maya serta ikatan subha asubha karma (suka tan pawali duka).
|
g. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau
empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan
(karma) seseorang.
Bagian-bagian Catur Warna yaitu:
Warna
Brahmana.
|
Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional
di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam
swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
|
Warna
Ksatrya.
|
Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional
di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam
swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan
negara.
|
Warna
Wesya.
|
Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional
di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di
bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain-
lain).
|
Warna
Sudra.
|
Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional
di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di
bidang ketenagakerjaan.
|
h. Catur Guru adalah empat kepribadian yang harus
dihormati oleh setiap orang Hindu.
Bagian-bagian Catur Guru yaitu:
|
||||||||||||
Yadnya adalah suatu karya suci yang
dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa atau rohani dalam kehidupan ini
berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Weda). Yadnya
dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik (kebajikan),
pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang
dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan
Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalam yadanya terkandung
nilai-nilai:
1.
Rasa tulus ikhlas dan kesucian.
2.
Rasa bakti dan memuja (menghormati)
Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara dan Bangsa, dan
kemanusiaan.
3.
Di dalam pelaksanaannya disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing menurut tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan
(patra).
4.
Suatu ajaran dan Catur Weda yang
merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran yang abadi.
v PEMBAGIAN YADNYA
Untuk memudahkan pembahasan, yadnya dibagi-bagi sebagai
berikut:
Ø 1. Yadnya Menurut Tingkat
Pelaksanaan Yadnya
Di dalam menghayati serta
mengamalkan ajaran agama, maka pelaksanaan Yadnya dilakukan secara bertingkat
sesuai dengan kemampuan umat masing- masing. Adapun bentuk pelaksanaan Yadnya
itu adalah sebagai berikut:
a) Dalam
bentuk pemujaan (sembah, kebaktian) ditujukan kepada:
Sang Hyang Widhi Wasa.
Para Dewa-Dewi yang merupakan manifestasi kemahakuasaan-Nya.
Para Bhatara-Bhatari, Leluhur.
b)
Dalam bentuk penghormatan ditujukan
kepada:
Pemerintah/Pejabat Pemerintah.
Orang-orang yang lebih tua atau yang berkedudukan lebih
tinggi.
Orang-orang yang berjasa dan para tamu.
Makhluk-makhluk yang nampak dan tidak nampak yang lebih
rendah derajatnya daripada manusia.
Adapun bentuk rasa hormat yang kita
berikan itu adalah tanpa merendahkan martabat diri sendiri, akan tetapi
didasarkan atas keikhlasan, ketulusan, dan kerendahan hati dan prinsip saling
hormat menghormati, harga menghargai, percaya mempercayai satu dengan yang
lain.
c)
Dalam bentuk pengabdian, baik kepada
keluarga, masyarakat, Negara, Bangsa, Tanah Air, dan kemanusiaan. Pengabdian
yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa adalah merupakan pengabdian yang
tertinggi nilainya. Pengabdian kepada keluarga (anak-istri), masyarakat,
Negara, Bangsa, Tanah Air dan kemanusiaan itu, satu dengan yang lainnya saling
berkaitan.
Besar kecilnya pengabdian yang dapat kita berikan (abdikan) tergantung atas kemampuan kita masing-masing.
Besar kecilnya pengabdian yang dapat kita berikan (abdikan) tergantung atas kemampuan kita masing-masing.
d)
Dalam bentuk cinta dan kasih sayang
terhadap semua makhluk hidup, terutama dalam keadaan melarat, menderita,
terkena bencana atau malapetaka, di mana kemauan dan tindakan suka serta ikhlas
berkorban sangat berperan di dalam bentuk cinta dan kasih sayang ini, demi
kebahagiaan bersama dan kesempurnaan hidup.
e)
Dalam bentuk pengorbanan di mana
pengorbanan benda, tenaga, pikiran, jiwa dan raga dapat diberikan demi
menjunjung tinggi cita-cita yang mulia dan luhur, baik dalam hubungan dharma
kepada negara maupun kepada agama (Dharmaning Negara dan Dharmaning Agama).
Dari kelima bentuk pelaksanaan yadnya tersebut dapat
disimpulkan bahwa arti yadnya itu sangat luas dalam hubungannya dengan
pelaksanaan dharma, bukan saja terbatas pada pelaksanaan Panca Yadnya ataupun
pelaksanaan dari berbagai bentuk upacara-upacara yang menggunakan sarana
ataupun yang tanpa menggunakan sarana.
Dalam pelaksanaan Upacara Yadnya ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
a) Adanya kebersihan tempat atau bangunan suci serta sarana
upacara.
b) Adanya
keseragaman pelaksanaan Upacara Yadnya.
c) Ketertiban.
d) Bahan-bahan
Upacara Yadnya yang terdapat di daerah setempat, agar tidak terhalang karena
tidak adanya sesuatu alat tertentu.
2.
Yadnya Menurut Jenis yadnya (Panca
Yadnya)
Panca Yadnya adalah lima jenis karya suci yang
diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup.
Adapun Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya tersebut terdiri dari:
a)
Dewa Yadnya.
Dewa yadnya ialah suatu korban atau persembahan suci kepada
Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya yang terdiri dari Dewa Brahma
selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku
Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan
persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa
(kebaktian dan pemujaan di tempat-tempat suci). Korban suci tersebut
dilaksanakan pada hari-hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun
(Pawedalan) ataupun hari-hari raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan
Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain-lain.
b)
Pitra Yadnya.
Pitra yadnya adalah suatu korban atau persembahan suci yang
ditujukan kepada Roh-roh suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati dan
mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak
tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana.
Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi
pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan
kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua
dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak,
menghormati serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya.
Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah
berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.
c.
Manusa Yadnya.
Manusa yadnya adalah suatu korban suci atau pengorbanan suci
demi kesempurnaan hidup manusia.Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara
Yadnya ataupun selamatan, di antaranya ialah:
Upacara selamatan
(Jatasamskara atau Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir.
Upacara selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru
berumur 3 bulan (105 hari).
Upacara selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton atau
weton).
Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah
Abyakala atau Citra Wiwaha atau Widhi-Widhana.
Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan-kegiatan
spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi
kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan,
dan lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di
dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata
cara menerima tamu (athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang
sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah
termasuk Manusa Yadnya.
d)
Rsi Yadnya.
Rsi yadnya adalah suatu Upacara Yadnya berupa karya suci
keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang-orang suci, Resi,
Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
1.
Penobatan
calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
2.
Membangun
tempat-tempat pemujaan untuk Sulinggih.
3.
Menghaturkan
atau memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
4.
Mentaati,
menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
5.
Membantu
pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina,
dan mengembangkan ajaran agama.
e)
Bhuta Yadnya.
Adalah suatu korban suci atau pengorbanan suci kepada sarwa
bhuta yaitu makhluk-makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang
tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis
makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun pelaksanaan
upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara Yadnya (korban suci) yang
ditujukan kepada makhluk yang kelihatan atau alam semesta, yang disebut dengan
istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan,
kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara
makrokosmos dengan mikrokosmos.
Di dalam pelaksanaan yadnya biasanya seluruh unsur-unsur
Panca Yadnya telah tercakup di dalamnya, sedangkan penonjolannya tergantung
yadnya mana yang diutamakan.
3. Yadnya Menurut Waktu Pelaksanaannya
Menurut ketentuan waktu pelaksanaan Yadnya, umat Hindu
mengenal dua jenis Yadnya yang disebut dengan istilah:
a)
Nitya Karma Yadnya.
Yaitu Yadnya yang diselenggarakan atau dilaksanakan setiap
hari. Contoh: Tri Sandhya, Memberi suguhan Yadnya Sesa (Ngejot atau Saiban).
b) Naimittika Karma Yadnya.
Yaitu Yadnya yang diselenggarakan pada waktu- waktu
tertentu. Contoh: Upacara Persembahyangan Purnama-Tilem, selamatan, Hari Raya,
dan sebagainya.
4. Yadnya Menurut cara Menjalankannya (Panca Marga)
Panca Marga Yadnya merupakan dasar yang menunjang
pelaksanaan Panca Yadnya.
a)
Drewya Yadnya.
Suatu korban suci secara ikhlas dengan menggunakan
barang-barang yang dimiliki kepada orang lain pada waktu, tempat, dan alamat
yang tepat, demi kepentingan dan kesejahteraan bersama, masyarakat, Negara dan
Bangsa. Pada umumnya Drewya Yadnya ini ditujukan kepada:
- Orang sakit.
- Orang yang menuntut ilmu.
-
Anak- anak yatim-piatu.
-
Para tamu.
-
Para Pendeta.
-
Keluarga yang menderita karena ditinggal tugas.
b)
Tapa Yadnya.
Suatu korban suci dengan jalan bertapa, sebagai jalan
peneguhan iman di dalam menghadapi segala jenis godaan agar memiliki ketahanan
di dalam perjuangan hidup serta menyukseskan suatu cita-cita luhur.
Suatu kegiatan Tapa jika dilatarbelakangi oleh keinginan
untuk menghindarkan diri dari berbagai kewajiban dalam kehidupan ini, tidak
dapat kita katakan sebagai Tapa Yadnya. Tapa Yadnya justru dilaksanakan demi
menegakkan dharma, sehingga kekuatannya akan menelurkan adanya ketenangan,
ketentraman, serta kebahagiaan, baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat
banyak. Tapa Yadnya termasuk Yadnya yang sangat berat, akan tetapi sangat mulia
dan tinggi nilainya dari sudut spiritual.
Apabila diyakini pelaksanaannya maka akan dicapai apa yang
disebut "SATYAM EVA JAYATE" yang berarti hanya kebenaran yang menang
pada akhirnya.
c)
Swadyaya Yadnya.
Suatu korban suci yang menggunakan sarana "diri
sendiri" sebagai kurbannya (Sadhana), yang dilaksanakan dengan tulus
ikhlas karena terdorong oleh perasaan kasih sayang yang sangat mendalam,
umpamanya berupa berbagai jenis organ tubuh, seperti daging, darah, tenaga,
pikiran, mata, jantung, dan sebagainya. Swadyaya Yadnya dilaksanakan
benar-benar demi:
- Rasa cinta kasih yang sejati.
-
Rasa tanggung jawab yang
sangat besar.
-
Panggilan rasa kemanusiaan.
-
Rasa bakti karena panggilan jiwa.
Demikian besar pengorbanan yang dituntut bagi pelaksanaan
Swadyaya Yadnya sehingga menjadikan pelakunya sebagai manusia yang luar biasa.
Para anggota ABRI yang berjuang demi membela Bangsa dan Negara, para penerima
hadiah Nobel untuk perdamaian dan kemanusiaan dapat digolongkan sebagai
pelaksana-pelaksana dari Swadyaya Yadnya.
d)
Yoga Yadnya.
Suatu korban suci dengan cara menghubungkan diri (menyatukan
cipta, rasa, dan karsa) ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa yang sifatnya sangat
mendalam, sehingga si pelaksana (Yogin) tersebut benar-benar merasakan bersatu
serta manunggal dengan-Nya, mencapai alam kesucian atau Moksa. Tetapi tidaklah
semudah sebagaimana yang telah diajarkan serta diuraikan di dalam berbagai
Sastra Yoga yang ada, melainkan ada beberapa bekal minimal di dalam rangka
melaksanakan Yoga Yadnya, seperti umpamanya:
-
Ilmu pengetahuan tentang berbagai selukbeluk Yoga (sastra-sastra Yoga mulai
dari Yoga Asanas, Hatta Yoga, Kundalini Yoga, Raja Yoga, dan sebagainya).
- Adanya kesanggupan dan kemampuan
serta keberanian di dalam melaksanakan Yoga Yadnya itu. Keyakinan, kesanggupan,
serta kemampuan melaksanakan "Tri Kaya Parisudha" yaitu berpikir,
berbicara, serta berbuat suci dan benar.
- Suci lahir dan batin serta mengenal
berbagai ilmu mengenai jalan menuju Moksa. Mengerti serta mengetahui bagaimana
caranya untuk mencapai Moksa.
- Meyakini ajaran Panca Sradha.
e)
Jnana Yadnya.
Jnana Yadnya berarti korban suci yang menyeluruh, yang
berintikan dasar pengetahuan dan kesucian.
Para Maha Resi terdahulu telah sanggup melaksanakan korban
suci Jnana Yadnya ini, karena kesanggupan dan kemampuan beliau mengolah pikiran
dengan ilmu pengetahuan kesuciannya itu sehingga mampu untuk menerima wahyu
dari Sang Hyang Widhi Wasa, yang dipergunakan oleh umat manusia sebagai pedoman
dalam mengatur kehidupan material dan spiritual dalam usaha mencapai
kebahagiaan di dunia (jagadhita) dan kedamaian abadi di akhirat (Moksa). Di
antara para Maha Resi Hindu yang telah berhasil di dalam melaksanakan Jnana
Yadnya ini antara lain:
Bhagawan
Abhyasa, sebagai Maha Resi penerima wahyu
yang telah mengkodifikasikan CATUR WEDA (Catur Weda Sruti).
Bhagawan
Wararuci, sebagai Maha Resi yang telah
menyusun sari pati dari Astha Dasa Parwa (Mahabarata) diwujudkan dalam kitab
Sarasamuçcaya.
Sang
Krishna, Sang Rama Dewa.
Kesemuanya adalah pelaksana Jnana Yadnya yang telah mencapai
kedudukan tertinggi di antara umat manusia pada jamannya maupun pada
jaman-jaman berikutnya sampai sekarang.